Jakarta, Kompas - Barang-barang impor ilegal berupa makanan, obat, kosmetik, dan obat tradisional senilai Rp 3,5 triliun dari hasil operasi dimusnahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Rabu (23/12) di Jakarta. Masyarakat diimbau tidak mengonsumsi barang impor ilegal tersebut.
Hal itu karena tidak ada evaluasi keamanan dan mutu terhadap barang yang masuk secara diam-diam itu.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Husniah Rubiana Thamrin mengatakan, produk impor ilegal adalah produk impor yang tidak memiliki nomor persetujuan untuk diedarkan, kedaluwarsa, mengandung bahan berbahaya, palsu, serta penandaan tidak sesuai dengan ketentuan, seperti berbahasa asing yang tidak dimengerti masyarakat.
Barang yang dimusnahkan merupakan hasil operasi terhadap produk impor ilegal pada Oktober 2008 sampai September 2009.
Produk yang dimusnahkan terdiri atas makanan 1.567.813 buah, kosmetik 837.344 buah, obat tradisional 73.137 buah, obat-obatan 6.103 buah, dan suplemen makanan 676 buah.
Barang-barang itu terutama berasal dari China, Malaysia, Thailand, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Singapura, dan Jerman. ”Sebagian besar adalah obat keras, penurun kolesterol, dan diabetes,” ujar Husniah.
Konsumsi sembarangan
Dia mengatakan, produk-produk ilegal itu berisiko pada kesehatan karena tidak dievaluasi persyaratan keamanan, manfaat, mutunya, serta tidak diketahui isi dan komposisinya.
”Sebagian besar produk itu juga berbahasa asing sehingga tidak bisa dimengerti sama sekali kandungan dan cara mengonsumsinya. Terkadang mengandung babi, tetapi ditempatkan di rak bersama produk lain sehingga masyarakat sulit membedakan,” ujarnya.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah jika barang itu ternyata mengandung bahan berbahaya.
Cara membedakan
Husniah mengatakan, salah satu cara mudah membedakan, selain tidak ada nomor persetujuan beredar, biasanya produk impor ilegal tidak disertai penjelasan berbahasa Indonesia yang merupakan salah satu syarat.
Dia menambahkan, pengawasan produk makanan dan obat, antara lain, dengan evaluasi produk sebelum dipasarkan.
Jika memenuhi syarat, produk akan diberi nomor persetujuan untuk diedarkan. Setelah ada di peredaran produk akan diawasi dengan mengambil sampling secara rutin.
Untuk pelanggaran yang telah memiliki bukti awal memadai, telah diproses hukum. Namun, sanksi yang dijatuhkan belum memberikan efek jera.
”Selama ini memang sudah ada kasus yang dibawa ke pengadilan karena bukti awal sudah mencukupi. Persoalannya, hukuman yang diterima hanya tiga bulan dan dendanya pun sangat rendah. Dendanya ada yang hanya Rp 100.000,” ujarnya.
Terbitnya Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 memberikan harapan baru. Dalam undang-undang itu, hukuman bisa mencapai tujuh tahun dengan denda Rp 1 miliar. (INE) - source KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar