Laman

Info Sehat

Kamis, 29 Juli 2010

Virus Vs Manusia, Dulu dan Sekarang


Selasa (5/5), kita membaca berita yang melegakan bahwa "mimpi buruk" influenza A telah—atau segera—usai. Alasannya, karena percepatan penyebaran flu yang telah menewaskan 22 warga Meksiko menurun meskipun masih ada 568 penderita flu tersebut (Kompas, 5/5).

Menurut Menteri Kesehatan Meksiko Jose Angel Cordova, penyebaran virus babi H1N1 dapat ditekan dengan bantuan obat-obatan antivirus flu, penggunaan penutup mulut-hidung, dan kebiasaan mencuci tangan.

Kita berharap keadaan cepat membaik dan tidak ada pandemi yang dikhawatirkan. Namun, dari merebaknya virus H1N1, kita dapat merenungkan beberapa hal, dari pertarungan abadi antara manusia melawan virus pembawa penyakit hingga
perbedaan yang ada antara masa lalu dan kini.

Satu hal yang melegakan adalah sains kedokteran abad ke-21 sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan abad ke-20 sekalipun. Bagaimana manusia menangani merebaknya virus influensa A H1N1 dan membandingkannya dengan ketika wabah flu merebak pada tahun 1918 bisa kita ambil sebagai contoh.

Antara 1918 dan 2009

Saat jutaan orang di seluruh dunia mulai ambruk tahun 1918, dokter dan ilmuwan tak punya ide mengenai apa yang sedang terjadi. Ketika epidemi meluas, orang menyalahkan apa saja, dari tanaman hingga buku tua berselimut debu (Reuters, 2/5). Wajar juga kalau saat itu orang tak paham apa yang terjadi karena virus
influenza baru diidentifikasi oleh tim peneliti Inggris tahun 1933.

Hanya selang sebulan setelah warga mulai sakit di Meksiko, para ahli telah berhasil menemukan biang keladi penyakit, yakni virus flu H1N1, pembawa material genetik yang sebagian besar dari babi dan sisanya dari manusia dan burung.

Ilmuwan di Meksiko, Amerika Serikat, dan Selandia Baru setelah itu terus mengirimkan rangkaian utuh RNA—bukan DNA seperti halnya pada manusia—yang dikumpulkan dari 34 sampel virus di perpustakaan publik online.

Itu artinya, ilmuwan di mana pun bisa menggunakan penjelasan di atas untuk menciptakan alat baru guna memerangi virus, seperti kit penguji diagnostik cepat dan vaksin. Kalau tes konvensional paling cepat selesai dua hari, ilmuwan sekarang sedang menyiapkan alat yang bisa mendeteksi virus H1N1 dalam tempo 4 sampai 6 jam saja.

Kalau kit pengetes memastikan yang diidap adalah virus H1N1, maka—seperti dituturkan Direktur Institut Glikomik di Universitas Griffith Australia Mark von Itzstein—pasien diharapkan bisa diobati dalam tempo 48 jam (setelah gejala muncul) dengan Tamiflu, mengarantinanya, dan memantau kesembuhannya.

Kit penguji baru ini, seperti ditulis Tan Ee Lyn yang menulis laporannya untuk Reuters, menggunakan apa yang disebut reaksi berantai polimerase (PCR). Kit PCR bisa mendeteksi virus spesifik H1N1 dalam sampel dengan mendeteksi urutan (sekuens) gen yang khas untuk virus tersebut dan tidak ditemukan pada virus lain.

Dipahami lebih baik

Seperti diulas dalam Laporan Iptek pekan lalu, ihwal mutasi virus kini telah dipahami lebih baik, termasuk virus influensa A H1N1, yang ternyata merupakan hasil percampuran tiga jenis (strain atau galur) virus, yakni strain flu manusia, burung, dan babi.

Kini diketahui virus H1N1 masih dapat ditanggulangi dengan obat antivirus Tamiflu dan Relenza (oseltamivir dan zanamivir), tapi ia resisten terhadap obat antiflu utama lain, yakni amantadine.

Selain virus babi H1N1, ada juga virus manusia H1N1 yang sudah menyebar di dunia meski tidak amat mematikan. Tahun lalu, virus ini berkembang hingga tak mempan Tamiflu. Akan sangat mencemaskan bila virus manusia H1N1 2008 ini bercampur dengan virus manusia/babi karena berpotensi menghadapkan manusia dengan strain flu pandemik yang lebih kebal obat, yang hanya bisa diobati dengan Relenza, yang harus diobatkan dengan dihirup (Newsweek, 11-18/5).

Kita juga masih ada urusan dengan pandemik lebih lama yang banyak menyerang unggas, tapi juga tidak jarang menyerang manusia, yakni virus H5N1. Pandemik ini sudah beredar cukup lama sehingga virus ini telah bercabang menjadi beberapa pohon evolusi, termasuk yang kebal obat.

Kendala penanggulangan

Proses mutasi virus telah diketahui, teknik mendeteksi cepat telah dikembangkan, obat antivirus telah dikembangkan, tapi upaya membebaskan manusia dari serangan virus tampaknya masih tak mudah diwujudkan karena sejumlah alasan.

Newsweek dalam laporannya menyinggung aspek kebijakan yang ditempuh sejumlah negara, termasuk Mesir dan Indonesia, yang bermaksud menegakkan "kedaulatan virus", di mana satu bangsa punya hak atas virus apa pun yang ditemukan di dalam batas wilayahnya dan bisa menolak berbagi informasi atas virus tersebut
dengan WHO atau entitas asing lain. Negara ini juga bisa menuntut semua keuntungan dari vaksin dan produk lain yang dibuat dari virus tersebut.

Prinsip kedaulatan viral ini dipandang mengancam seluruh komunitas global-demikian pula negara yang menegakkan prinsip ini. Sikap Indonesia dikontraskan dengan sikap Meksiko yang dinilai lebih mempertimbangkan tidak saja warganya sendiri, tetapi juga dunia.

Globalisasi versus xenofobia

Satu hal lain yang juga disimak dari merebaknya virus flu A H1N1 adalah betapa virus bisa menyebar cepat, dari Meksiko ke AS, Perancis, Selandia Baru, Kanada, Inggris, dan lainnya. Itulah faktanya, dalam dunia yang terhubung sekarang ini, penyakit bisa melompat, ibaratnya dari kamp pengungsi Afrika ke kota-kota maju
di Barat atau dari desa di Amerika Selatan ke Boston atau Bordeaux.

Di satu sisi, globalisasi dianggap punya kontribusi terhadap cepat meluasnya wabah penyakit. Tetapi—mengambil analogi krisis ekonomi—mundur ke proteksionisme juga bisa besar ongkosnya. Respons ilmiah terkoordinasi dipandang tetap sebagai jalan terbaik untuk maju terus, bukan xenofobia yang dipicu oleh kepanikan (Time, 11/5).

Salah satu pandemi paling maut dalam sejarah manusia—Kematian Hitam pada abad ke-14 yang menewaskan sekitar 25 juta orang di Eropa—memunculkan dislokasi sosial besar-besaran dan keraguan terhadap Tuhan YMK, hal yang lalu dikaitkan dengan berseminya intelektual Renaisans. Serangan kolera di Eropa pada tahun 1830-an juga lalu memicu perbaikan bidang kesehatan masyarakat dan sanitasi.

Kerentanan manusia ternyata justru bisa menciptakan pengetahuan yang bisamembawanya lolos dari penyakit yang paling menakutkan sekalipun.[kompas]

Counter VIRUS dengan PROPOLIS
open this link:
http://bonusharian.multiply.com/reviews/item/21

informasi detil: hubungi: 021-92523338 (RENDRA)